Sabtu, 26 Mei 2012

Tradisi Boyongan di kabupaten Nganjuk : Cikal bakal Berdirinya Kabupaten Nganjuk


Nganjuk merupakan suatu wilayah yang terdapat di wilayah jawa timur, kabupaten ini secara geografis terletak diantara beberapa wialyah yang mengapitnya yaitu wialayha selatan berbatasan dengan kabupaten Kediri, timur dengan Jombang, Barat dengan Madiun,utara dengan kabupaten Bojonegoro. Secara adimnistratif nganjuk terdiri dari beebrapa kabupaten, yaitu terdiri dari 20 kecamatan termasuk didalamnya adalah Kecamatan Berbek yang dalam sejarah merupakan cikal bakal berdirinya kabupaten Nganjuk. Secara pendapatan ekonomi, nganjuk ditopang dari perekonomian agraris yaitu pertanian komoditas utama dari kabupaten ini adalah brambang atau bawah Merah yang merupakan terbesar di jawa timur. Selain hal tersebut daerah Nganjuk juga disebut sebagai kota angin, karena memang di daerah ini memilki angin yang kencang,terurtam saat musim kemarau. Secara umum wilayah kabupaten Nganjuk merupakan daerah yang masih menganut tradisi tardisional leluhur, bebrapa tradisi yang masih memilki unsure tradisional adalah upacara siraman sedudo, yang diadakan di desa ngliman, Kecamatan Sawahan juga banyak dikunjuigi oleh wisatawan. Selain acara  tersebut, kabupaten Nganjuk juga memilki tradisi unik yang juga diadakan setiap tahun,  salah satu tradisi yang masih dipertahankan sampai saat ini adalah tradisi Boyongan yang akan dibasah dalam artikel ini.
Tradisi boyongan (berpindah tempat) merupakan suatu ritrual yang dilakukan oleh pemrintah kabupaten nganjuk yang dilakuakn setiap setahun sekali,  tradisi tersebut biasanya dilakukan pada bulan april. Kegiatan ini dlakukan oleh dalam rangka memperingati hari jadi ngajuk sekaligus sebagai pertanda peralihan pusat administrasi dari kabupaten Berbek menjadi Kabupaten Nganjuk sampai sekarang. Dalam sejarahnya perubahan tersebut tercatat pada tahun 1880, pada waktu itu yang menjadi bupati terakir Berbek adalah KRMT. Sostrokusumo III (1878-1901), sekaligus menjadi bupati pertama kabupaten Nganjuk. Sebelum perpindahan tersebut Nganjuk merupakan wilayah distrik ( pembantu Bupati) dari kabupaten Berbek yang merupakn wilayah dari Karisedenan Kediri pada tahun 1875. Perpindahan tersebut terjadi ketika dimulainya pembangunan jalur kereta api dari Surabaya-Solo, dalam pembangunanya tersebut, jalur kereta api tersebut melewati daearah Nganjuk, sehingga Ngajuk dipilih oleh pemerintah colonial sebagai wilayah baru Kabuaten yang sebelumnya ada di daerah Berbek. selain itu letak Kabupaten Berbek yang berada di lereng gunung Wilis, mneyebabkan pertumbuhan kota di daerah ii berjalan lambat. Sungai yang membentang di wialayh ini tidak dapat menjadi sarana transportasi karena sungainya desar dan banyak bebatuan, berbeda dengan sungai berantas sebagai sarana transportasi. Hal tersebut juga terlihat dalam Encyclopedia Van nederlandsch Indies Grovenhoge; Mertimes nijhoff, 1919, halaman 274-274, terdapat keterangan yang menjelaskan bahwa ibu kota Berbek adalah wilayah yang terisolasi. [1]Dalam hal ini, perpindahan tersebut dapat dijelaskan melalui beberapa fakor diatas yang mempengaruhi perpindahan wilayah pusat administrasi tersebut. Mengenai kapan terjadinya tradisi boyongan yang pertama dilakukan, kita dapat mengacu pada poto yang didokumentasikan oleh arcief Nganjuk adalah : Peringatan 50 tahun berdirinya kota : Nganjoek yang diadakan di onderdistrict-Prambon. Dapat diperkiran antara tahun 1880-1930 :
1.      Peringatan HUT Kabupaten Nganjoek yang ke 50 diadakan pada tahun 1930 :
2.      Peringatan pelaksanaan pada saat RAAA. SOSROHADIKOESOMO ( Gusti Djito )masih menjabat sebagai Regent (=Bupati) Nganjoek.
3.      Tahun 1880 adalaha tahun suatu kejadian yang diperingati yaitu mulainya kedudukan ibukota kabupaten Berbek berpindah ke Nganjoek :
4.      Pada tahun 1880 yang menjabat sebagai Bupati di Berbek adalah KRMT. SOSOTROKOESOMO III.
5.      KRMT. SOSTROKOESOMO III adalah bupati yang pertama di kota Nganjoek.

           
Prosesi Boyongan
Dalam Kegiatan ini, tradisi Boyongan yang dilakukan oleh pemrintah kabupaten Nganjuk meliputi beberapa serangkaian acara  dimulai dari bebrapa ritual, yang dilakukan oleh sesepuh di kecamaten Berbek. kemudian dilanjutkan dengan proses boyongan tersebut. Kegiatan ini dimulai pada pagi hari, yaitu persiapan peserta kirab, peserta dikumpulkan di lapangan alun-alun kecamatan Berbek, untuk kemudian pendataan kepasa satiap pearta. Setalah kesamuannya siap dilanjutkan ke acara pelepasan. prosesi boyongan yang dilakukan setiap tahun ini, mulai pukul 08.00 dari berbek menuju alun-alun Nganjuk yang memiliki jarak sekitar 10 Km.pd saat berlangsungnya kirap tersebut, biasanya psar Berbek yang juga dilewati oleh rute boyongan tersebut ditutup semntara waktu, untuk kelancaran jalan prosesi. Dalam tradisi ini, peserta Boyongan sendiri terdiri dari Bupati dan para staf dan pejabat pemrintahan kabupaten Ngajnuk. Selain dari pemerintah daerah,pejabat setingkat kecamatdi wilayah kabupaten Nganjuk juga berpartisipasi dalam acara tersebut.  beberapa lapisan masyarakat salah satunya para seniman yang juga turut berpartisipasi dalam acara ini. Pertunjukan yang dilakukan dalam acara ini adalah para peserta memakai akaian khas tradisional jawa, selain itu juga menampilkan beberap pertunjukan yang menarik lainnya. Dalam prosesinya, yang menjadi pembuka dan ada dibarisan terdap dalam acara Boyongan ini adalah Bupati yang saat ini menjabat, juga mengendarai kereta kencana kemudian disusun oleh wakil bupati, dilanjuktkan oleh beberapa staf atau kedinasan yang terdapat di kabupaten Nganjuk, samapi pada staf setingkat kecamatan dan desa. setelah itu disusun oleh masyarat yang ingin berpartisipasi dalam, acara ini. Dalam acara ini terdapat tarian tarian yang mengeringi prosesi Boyongan tersebut. Diantara tari tarian tersebut adalah :
Tari Mung Dhe
Sejarah tari Mung Dhe (tarian Perang) yang tidak dapat dilepaskan dalam peristiwa perang Diuponegoro tahun 1825-1830, yang menuai kegagalan dari pasukan tersebut, dampak dari kegagalan tersebut adalah para pengikut atau prajurit yang lari ke jawa timur. Penciptaan tarian ini juga digunakan dalam mengumpulkan prajurit Diponegoro.  Dengan gerakan yang sigap dan baris berbaris dengan adegan-adegan peperangan tari ini merupakan tari yang syarat akan nilai perjuangan, tari ini secara keseluruhan jumlah pemainnya terdiri dari 14 orang pemain. 2 orang berperan sebagai prajurit, 2 orang membawa bendera, 2 orang botoh dan 8 orang pemain music dan pengiring. Dalam hal tata busana, para pemain tari Mung Dhe mengguanakan makeup yang mempertegas aksen dan peran mereka masing-masing, seperti mempertebal alis, kumis dan jawas.   tari ini mengiringi dalam prosesi boyongan yang berlangsung dari kecamatan Berbek sampai kabupaten Nganjuk. Untuk pemeran botoh, mengguanakn Topeng, dalam tradisinya botoh berfunsi sebagai penyemangat saat peperangan. Ada dua botoh, ayitu pethul yang menyemangati pihak yang menang, sedangkan temben meruapak penyemangat [ihak yang kalah dalam perang tersebut.[2]
Selain tarian khas dari kabupaten Nganjuk yaitu Mung Dhe, acara yang dilakukan dalam boyongan tersebut juga membawa beberapa sesaji yang telah dipersiapkan. Sesaji tersebut beruap tumpeng yang dilengkapi juga dengan panganan trafdisional. Tumpeng ini buat oleh setiap kecamatan yang akan mengikuti prosesi boyongan. Selanjutnya tumpeng ini akan diarak samapi pada tempat berakirya rute boyongan yaitu di alun-alun kota nganjuk, tumpeng tersebut kemudian menjadi rebutan masyarakat yang telah menunggu dan mengharapkan berkas dari tradisi ini. Dalam sesaji berupa tumpeng ini, karena setiap pembawanya adalah dari setiap kecamatan yang ikut dalam porsesi boyongan, kita juga dapat melihat cirri khas dari tumpeng tersebut yang biasanya di hias dengan barang ataupun benda yang menjadi ciri dari setiap kecamatan tersebut. Acara terakir ditutup oleh masuknya bupati ke dalam pendopo kabupaten setelah menyerakhan pusaka yang dibawa yaitu pusaka payung nogo yang nantinya akan diserahkan kepada sesepuh di kabupaten tersebut.
            Acara dalam tradisi boyongan di kabupaten Nganjuk ini memiliki makna dalam sertiap prosesi yang dilakuaknnya, baik dari ritual yang digunakan sampai pada elemen elemen dalam prosesi tersebut. Dalam acara ini kita dapat meilhat, bahwa kegiatan selain sebagai sarana hiburan oleh masyarakat, juga sebagai upaya pmerintah dalam hal ini pemrintah kabupaten Nganjuk, untuk semakin dekat dengan rakyatnya, dengan melakukan kirap ini, para pejabat juga dapat memantau secara langsung kondisi masyarakat di daearah ini, dengan melihat keadaan mereka yang melihat acara boyongan ini dari pinggir jalan. Selain hal tersebut makna yang dapat terlihat dari tradisi ini adalah masyarakat dapat bersuka cita, dan menikmati makanan yang telah didapat dalam pengambilan berkah, sehingga mencerminkan masyarakat yang memilki smangant gotong royong. Tarian perang  ( mungdhe ) juga menjadi salah satu bagian dari prosesi boyongan tersebut. hal tersebut dapat menyiratkan kepada masyarakat Nganjuk bahwa mereka tidak oleh melupakan jasa-jasa pahlawan yang telah gugur mempertahan tanah air, yang gigih melawan penjajahan kolonial.
Dari barisan acara tersebut terlihat bahwa Bupati berada pada tempat terdapan, sehingga dapat dilihat bahwa hal tersebut merupakan sebuah simbol dari kekuasaan raja-raja di mataram, selain itu peran bupati merupakan sebuah pencitraan seorang raja, sehingga Bupati menempati posisi yang utama dalam sebuah pemerintahan. Kedatangan bupati di dalam pendopo kabupaten disambut dengan tarian jurit. Setelah itu terdapat penyerahan benda pusaka dalam prosesi terakir dalam tardisi boyongan adalah meneyerahkan benda pusaka yaitu payung nogo kepada sesepuh di kabupaten Nganjuk, hal tersebut secara simbolis menyiratkan masih diakuinya sebuah benda yang memilki nilai mistis, sehingga benda tersbut dikeramatkan.  
Dalam tradisi boyongan tersebut, banayak elemen masyarakat dari beberapa golongan berbaur untuk melihat acara tersebut. Dari orang tua sampai yang muda. Untyuk golongan pemuda maupun anak-anak, apabila dalam acara ini tidak bertepatan dengan hari libur, umumnya menurut pandangan penulis banyak anak-anaka sekolah dasar yang tidak mengadakan keoiatan pembelajaran pada saat itu. Biasanya para guru mewajibkan anak-anak tersebut melihat acara tersebut. Hal tersebut merukan sebuah upaya yang dilakuakn oleh dinas pendidikan untuk mengenalkan kebudayaan di Nganjuk, sehingga dapat memupuk rasa cinta terhadap kebudayaan setempat, yang juga menjadi indentitas kedaerahan bagi genegrasi muda.
Acara ini juga  mempunyai peluang sebagai aset pariswisa di Kabupaten Nganjuk, dimana prosesi ini tidak di semua tempat dapat mengadakannya, karena Nganjuk memiliki sejarah yang khas dalam terbentuknya sebuah pemrintahan sekarang ini. Prosesi dapat menjelaskan bagaiaman tradisi semacam ini masih dipertahan di daearah ini, mengingat perubahan perubahan yang terdapat di beberap wilayah kota di Indonesia yang umumnya sudah banyak meninggalkan tradisi yang semakin giat dengan moderbitas, dan menghilangkan nilai-nilai budaya dalam perkembangannya. Dengan diadakannnya  acara tersebut setiap tahun, pemerintah kabupaten Nganjuk juga dapat meningkatkan jumlah wisatawan asing baik, domistik maupun mancanegara, untuk berkunjung di Nganjuk. Sehingga nantinya potens-poptensi di wilayah kabupaten Nganjuk dapat dimninati oleh masyarakt secara luas.


[1] Dikutip melalui media online “hppt ://tanjunganom.tc.provjatim.go.id. tanggal 13 Mei 2012, pukul 12.30.
[2] Nganjuk dan sejarahnya,

2 komentar: